INFO KEGIATAN SIMPUL KSM III

Simpul KSM III telah dilaksanakan pada tanggal 4 Juli 2010 di Wisma Virgo Medan. Adapun tuan rumah dari kegiatan Simpul KSM III ini adalah KSM Tunas muda. Ada tiga agenda yang dibahas dalam kegiatan tersebut :
1. Sharing pengalaman
2. Diskusi kelompok
3. RTL

Dari sharing pengalaman ini kelompok perempuan Muara Tanjung dari Desa Nagalawan yang di wakili oleh Jumiati dan Saniah untuk membuat abon ikan dan sirup dari buah perepat. Menurut peserta sharing pengalaman ini sangat menarik sekali karena ternyata bahan mangrove dapat dijadikan makanan juga.

Dari diskusi kelompok ada beberapa harapan peserta dari masing – masing KSM untuk desanya, dan ada juga rencana bersama untuk melaksanakan harapan tersebut.

Ada beberapa RTL bersama yang akan dilakukan:
1. Pelatihan internet yang akan dilaksanakan di P3MN bulan Juli 2010
2. Pelatihan keuangan dan administrasi yang akan dilaksanakan di kampung nelayan pada bulan Oktober 2010
3. Simpul KSM IV akan dilaksanakan di Desa Nagalawan pada bulan Oktober 2010

Training Entrepreneurship

INFO KEGIATAN PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN

Pada tanggal 5 s/d 6 Juli 2010 telah di lakukan Pelatihan Kewirausahaan (Enterpreneur) yang diselenggarakan oleh P3MN bersama KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) Tunas Muda Belawan.
Tujuan dari pelatihan ini adalah :
1. Untuk meningkatkan wawasan tentang kewirausahaan
2. Mendorong munculnya semangat kewirausahaan di kalangan masyarakat.

Dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi dikalangan masyarakat khususnya nelayan atau masyarakat pesisir dengan menciptakan lapangan kerja yang secara mandiri lewat pelatihan kewirausahaan ini diharapkan bisa mengurangi angka kemiskinan. Oleh karena itu penguatan kapasitas khususnya nelayan dalam bidang usaha melalui pelatihan kewirausahaan adalah sangat relevan bagi perbaikan tingkat ekonomi.

Peserta yang di undang sebanyak 25 orang dari 4 wilayah, yaitu :
1. Belawan
2. Deli Serdang
3. Serdang Bedagai
4. Batubara

Yang difasilitasi dari Medan Enterpreneur Centre yaitu :
• Yonge Sihombing, SE, MBA (Ketua MEC)
• Deni Faisal Mirza (Direktur UKM Center SUMUT)
• Diah Anggraini (Manajer Sirup Markisa Noerlen)
• Andre Roland Klein, SE, Ak (General Manajer Hotel Arya Duta Medan)

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Info Penanaman Mangrove

INFO KEGIATAN PENANAMAN MANGROVE
MENYAMBUT HARI LINGKUNGAN HIDUP


Untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia maka P3MN dan Badan Pelestarian Hutan Mangrove (BPHM) Desa Rugemuk dan didukung oleh Heifer Project International dan GEF SGP pada hari Senin tanggal 7 Juni 2010, melakukan penanaman mangrove sebanyak 10.000 bibit di Dusun IV Desa Rugemuk

Pada acara penanaman ini dihadiri oleh :
1. Pemerintahan Desa Rugemuk yang diwakili oleh Pak Timan selaku Kepala Desa Rugemuk
2 Pemerintahan Kecamatan Pantai Labu yang diwakili oleh Bapak Drs. Zulkif Tanjung
3. Dinas Kehutanan diwakili oleh Bapak Pakpahan
4. Dinas Bappedalda yang diwakili oleh Bapak Sianturi
5. Sektor Kepolisian P. Labu yang diwakili oleh Bapak Faisal
6. LSM Yagasu

Penanaman mangrove dilakukan oleh masyarakat Desa Rugemuk yang tergabung dalam BPHM dan pada hari itu juga disahkan Badan Pelestarian Hjutan Mangrove (BPHM) Desa Rugemuk yang diketuai oleh Annuar Tambusai alias Ucok Dogol

Kemiskinan Nelayan dan Perubahan Iklim

KEMISKINAN NELAYAN dan PERUBAHAN IKLIM
Oleh Leonardo Marbun

Kemiskinan
Akhir-akhir ini media massa sering memuat berita mengenai fenomena perubahan iklim dan dampaknya bagi petani maupun nelayan. Pemberitaan tersebut, diharapkan membuka kepedulian publik khususnya pemerintah. Di samping itu, terdapat kontroversi kenaikan TDL yang turut menambah beban rakyat juga dirasakan para nelayan. Cobalah kita cermati kebijakan negara khususnya mengenaikan kenaikan BBM,TDL dan konversi minyak ke LPG pasti lebih cenderung meminta ‘permakluman” dari rakyat. Alih-alih untuk penghematan APBN dilakukan pengurangan subsidi , efisiensi energi justeru menambah beban rakyat. Sejak kebijakan awal naiknya harga BBM per Oktober 2005, pada umumnya nelayan kecil terpaksa “berdaptasi” dengan membeli minyak oplosan atau menggantinya solar ke minyak tanah. Dengan kenaikan TDL saat ini, sekalipun nelayan kecil/tradisional tidak banyak menggunakan energi lsitrik untuk kegiatan usahanya, tapi efeknya terhadap kenaikan harga kebutuhan pokon sangatalah signifikan. Meskipun harga ikan di pasar turut naik, tetapi seringkali tidak sebanding dengan kebutuhan pengeluaran lainya. Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah untuk membuat strategi agar nelayan tidak makin jatuh ke jurang kemiskinan yang makin dalam.
Belum lagi fenomena perubahan iklim yang berdampak pada aktifitas nelayan menangkap ikan. Ketika saya berdiskusi di Kampung Nelayan Belawan- Kodya Medan, kira-kira 35 Km² dari Medan, kesimpulnya terdapat musim-musim dimana nelayan mengalami paceklik. Pada musim tertentu bisa mendapat hasil tangkapan antara Rp.200.000 hingga Rp.500.000 dalam sekali melaut, nampaknya sangatlah tidak mungkin mereka miskin, tetapi jika kita analisis dari segi kelender musim bahwa tidak sepanjang tahun ada perolehan ikan. Pasang naik dan pasang mati tidak lagi bisa diprediksi.Hampir, setiap bulan terjadi pasang besar (dulunya hanya pada musim tertentu, yang mereka sebut dengan pasang perbani), akibatnya sering terjadi banjir Rob di wilayah Belawan sekitarnya. Musim yang tidak menentu, seperti seringnya gelombang pasang besar membuat nelayan tidak melaut akibatnya pendapatan merekapun makin menurun.

Menurunnya hasil tangkapan dan gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrem semakin sering dijumpai. Angka kemiskinan bakal meningkat. Setiap harinya 116 nelayan beralih profesi. Menurut Dinamisator Pemantau dan Advokasi Pendanaan Iklim (CFAM) Mida Saragih, dana-dana iklim yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak di bawah skema resmi Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim atau UNFCCC Melainkan dari sejumlah negara maju dan lembaga keuangan internasional yang selama ini menggelontorkan utang dan hibah bersyarat kepada banyak negara yang mengalami krisis pangan, finansial, energi, hingga kemiskinan (bataviase.co.id,16/07/2010)

Menurunya pendapatan nelayan sebenarnya sudah terjadi sejak 10 tahun yang lalu, akibat overfishing (kelebihan tangkapan) dengan terlampauinya daya dukung maksimumnya. Kondisi tersebut banyak terjadi di wilayah perairan laut Indonesia. Selain itu, kegiatan illegal fishing, Unreported, Unregulated (IUU) terus berlangsung yang merugikan negara. Ikan yang seharusnya sumber pangan rakyat , tergerus oleh nelayan asing yang di bawa keluar, sementara nelayan lokal hanya mendapatkan sisa-sisanya. Berbagai kerusakan pesisir seperti terumbu karang dan hutan mangrove mengakibatkan pembiakan kian semakin turun dari tahun ke tahun. Bahkan banyak jenis ikan yang dulunya sering ditangkap nelayan, kini semakin langka ditemukan.

Kebijakan Negara

Sejak terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, sekarang disebut Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP), terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan dan direvisi. Namun, kebijakan tersebut bisa dikatakan, dalam upaya menjawab kebutuhan pasar. Visi pemerintah cq KKP untuk menjadikan Indonesia Penghasil Produk Perikanan Kelautan Terbesar 2015, merupakan indikasi bahwa yang mau ditunjukkan adalah kemampuan pemenuhan pasar. Hal yang tidak bisa dipungkiri, mengingat pasal 1, UU No.45 tahun 2009 Tentang Perikanan menekanan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sementara, program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan nelayan seperti Program Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN), Pembangunan Kedai Pesisir, dan Program Penguatan Modal bagi masyarakat pesisir yang bekerjasama dengan lembaga keuangan tidak menunjukkan hasil yang signifikan meningkatnya kesejahteraan nelayan kecil/tradisional pada umumnya.

Menurut data KKP sampai dengan Mei Tahun 2008 telah terbangun 225 SPDN. Namun, dalam perjalanannya, berbagai kendala (seperti jumlah kebutuhan BBM nelayan yang terlalu sedikit pada lokasi yang diusulkan, akses jalan bagi mobil angkut Pertamina, dan ketersediaan lahan yang memenuhi syarat serta ketidaksiapan pengelola) sehingga percepatan pembangunan SPDN tersebut dikaji ulang sesuai kondisi lapangan. (lihat http://www.dkp.or.id) . Program SPDN tersebut, kalaupun tidak bisa dinyatakan gagal, tetapi juga tidak membasis. Dihunjuknya HNSI sebagai mitra, merupakan bentuk pilih kasih terhadap salah satu organisasi nelayan. Padahal, sejak reformasi telah banyak organisasi nelayan dan kelompok-kelompok nelayan yang independent dan kredibel di tataran grass root muncul dan eksis. Mestinya, KKP punya data yang akurat mengenai organisasi atauapun kelompok terkait nelayan yang kredibel, sehingga tidak salah menempatkan sasaran programnya.
Dengan adanya perubahan iklim, pemerintah sudah seharusnya punya grand strategy menghadapinya. Jika selama ini, nelayan terus “dipaksa” beradaptasi dengan perubahan yang ada baik alam amaupun ekonomi secara makro, maka intervensi negara sangatlah mendesak. Hal ini tidak hanya menolong keadaan yang dihadapi nelayan tetapi menjaga ketersedian pangan khsusunya konsumsi ikan dalam negeri. Kedaulatan pangan menjadi tema penting dikaitkan dengan perubahan iklim saat ini. Setidaknya KKP menempatkan nelayan sebagai sasaran sosialnya bukan hanya dunia usaha perikanan dengan melakukan terobosan secara radikal untuk menghentikan segala tindakan yang merusak pesisir yang akhir-akhir ini semakin merajalela. Di berbagai wilayah pesisir di Tanah Air, telah terjadi konversi areal mangrove menjadi kebun sawit. Padahal, pertahanan pesisir untuk menangkal fenomena cuaca ekstrem dan perubahan iklim adalah hutan mangrove. Nelayan sebagai pemangku kepentingan yang lebih merasakan perubahan iklim tentu harus tetap diberdayakan secara ekologis dan ekonomi melalui keberanian melawan arus pasar kapitalis dengan segala bentuk intervensi programnya yang lebih membasis.

KEGIATAN

Info Kegiatan Workshop

Pada tanggal 13-14 Juni 2008 di Hotel Masa Kini kota Gunung Sitoli, P3MN bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias dan didukung oleh WWF-Indonesia Kantor Program Aceh telah mengadakan kegiatan workshop yang bertema “Membangun Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Yang Berkelanjutan”. Workshop ini secara resmi dibuka oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias Bapak Baziduhu Zebua, dihadiri oleh 56 orang dari berbagai instansi pemerintah daerah Kabupaten Nias, LSM dan NGO yang melakukan kegiatan di wilayah pesisir Kabupaten Nias dan masyarakat nelayan.

Workshop ini merupakan bagian dari program Analisis Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten Nias dari rangkaian program Green Coast.  Dari hasil analisis direkomendasikan perlu untuk membangun kebijakan di tingkat Kab. Nias mengenai pesisir dan laut, dalam prosesnya kemudian dilakukan  dengan mengadakan workshop untuk menggali, permasalahan, ide, gagasan dari setiap pihak terkait di Kab. Nias dalam mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan.

Workshop menghadirkan 4 orang narasumber dari stakeholder terkait , yaitu :

1. Bapak Baziduhu Zebua, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias.

2. Ibu Mei Linda Farosa, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Nias.

3. Bapak Fenueli Zai, BRR Kab. Nias.

4. Ferry Hasudungan, WI-IP Teluk Belukar.

Peserta cukup antusias menerima materi yang disampaikan panelis dan banyak mengajukan pertanyaan, serta memberikan masukan bagi setiap pihak yang terkait dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut.

Diakhir acara ada 3 rekomendasi yang disepakati bersama yaitu :

1. Perlu dilakukan rencana strategi pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kab. Nias

2. Perlu ada tim perumus yang terdiri dari beberapa unsur masyarakat yang akan mengawal proses renstra tersebut.

3. Tim tersebut adalah :

a. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Nelayan (P3MN)

b. WWF

c. WI-IP Teluk Belukar

d. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias, Bapak S. Sembiring.

e. BAPPEDA Kab. Nias, Bapak Meiman Zai

f. Dinas Perhubungan Kab. Nias, Bapak Yason Zebua.

g. Sekretaris Daerah Bagian Ekonomi dan Pembangunan Kab. Nias, Bapak Fonaso Laoli, A.Md, SE.

h. Himpunan Nelayan se-Indonesia (HNSI), Bapak Ahmad Yani, S.Pd.

i. Kelompok Nelayan ”Kara Modoi” Kec. Tuherembua.

j. LSM Lokal Nias, Wahana Lestari.

By: Riama Napitupulu

Info Kegiatan Workshop

Pada tanggal 13-14 Juni 2008 di Hotel Masa Kini kota Gunung Sitoli, P3MN bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias dan didukung oleh WWF-Indonesia Kantor Program Aceh telah mengadakan kegiatan workshop yang bertema “Membangun Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Yang Berkelanjutan”. Workshop ini secara resmi dibuka oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias Bapak Baziduhu Zebua, dihadiri oleh 56 orang dari berbagai instansi pemerintah daerah Kabupaten Nias, LSM dan NGO yang melakukan kegiatan di wilayah pesisir Kabupaten Nias dan masyarakat nelayan.

Workshop ini merupakan bagian dari program Analisis Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten Nias dari rangkaian program Green Coast.  Dari hasil analisis direkomendasikan perlu untuk membangun kebijakan di tingkat Kab. Nias mengenai pesisir dan laut, dalam prosesnya kemudian dilakukan  dengan mengadakan workshop untuk menggali, permasalahan, ide, gagasan dari setiap pihak terkait di Kab. Nias dalam mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan.

Workshop menghadirkan 4 orang narasumber dari stakeholder terkait , yaitu :

1. Bapak Baziduhu Zebua, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias.

2. Ibu Mei Linda Farosa, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Nias.

3. Bapak Fenueli Zai, BRR Kab. Nias.

4. Ferry Hasudungan, WI-IP Teluk Belukar.

Peserta cukup antusias menerima materi yang disampaikan panelis dan banyak mengajukan pertanyaan, serta memberikan masukan bagi setiap pihak yang terkait dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut.

Diakhir acara ada 3 rekomendasi yang disepakati bersama yaitu :

1. Perlu dilakukan rencana strategi pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kab. Nias

2. Perlu ada tim perumus yang terdiri dari beberapa unsur masyarakat yang akan mengawal proses renstra tersebut.

3. Tim tersebut adalah :

a. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Nelayan (P3MN)

b. WWF

c. WI-IP Teluk Belukar

d. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Nias, Bapak S. Sembiring.

e. BAPPEDA Kab. Nias, Bapak Meiman Zai

f. Dinas Perhubungan Kab. Nias, Bapak Yason Zebua.

g. Sekretaris Daerah Bagian Ekonomi dan Pembangunan Kab. Nias, Bapak Fonaso Laoli, A.Md, SE.

h. Himpunan Nelayan se-Indonesia (HNSI), Bapak Ahmad Yani, S.Pd.

i. Kelompok Nelayan ”Kara Modoi” Kec. Tuherembua.

j. LSM Lokal Nias, Wahana Lestari.

By: Riama Napitupulu

BBM

Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan

Leonardo Marbun·

 

Pemerintah tetap bersikukuh menaikkan harga BBM sekalipun ada reaksi penolakan dari berbagai elemen. Alasan kenaikan ini diperkuat dengan harga minyak dipasar internasional sebesar 65 $ US menjadi, sekalipun kebiajakn tersebut menjadi rujukan penyusunan APBN yang katanya untuk menekan  devisit anggaran.

Padahal kenaikan pertama BBM pada pemerintahan SBY-Kalla sebesar 20 persen saja sudah disambut dengan berbagai aksi protes – pro kontra- hingga adu jotos anggota dewan terhormat. Namun, kenaikannya seolah tak terbendung, apalagi pemerintah berhasil mempengaruhi publik melalui jargon bahwa, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan kaya raya. Pernyataan tersebut didukung pula dengan asumsi bahwa kompensasi atas kenaikan BBM akan bisa mengurangi kemiskinan bila dikembalikan dalam bentuk bantuan pada warga miskin.

Kebijakan inipun terkesan buru-buru, melihat pendataan warga miskin belum benar-benar tuntas hingga saat ini. Dari percermatan penulis mengenai pendataan ditemukan beberapa kejanggalan seperti, pertama pelatihan secara instant (hanya 1 jam)  bagi para petugas pencatat sehingga diragukan apakah cukup memahami point-point pertanyaan yang di dalamnya beragam indikator . Kedua,  adanya indikasi penggelembungan data warga miskin, karena petugas pencatat dihargai untuk satu kuisioner antara Rp.3000-3500 . Pada akhirnya dorongan mendapatkan responden (warga dataan) lebih dominan . Selain itu informasi mengenai pendataan warga miskin sebelumnya sudah banyak diketahui, sehingga beberapa  warga  mengaku miskin. 

 

Kemiskinan Nelayan

            Streotipe semisal boros, malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justeru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring (membolo;istilah di Pantai Timur Sumatera Utara). Kalaupun ada sikap boros dan malas, tetapi tidak tepat dijadikan ukuran umum. Kemiskinan nelayan ditengarai pula oleh ketiadan modal dan rendahnya kultur kewirswastaan. Pemecahan persoalan tersebut biasanya dengan mengembangkan semangat kewiraswastaan, pendapatan perkapita kelompok sasaran meningkat, dan adanya motviasi berprestasi. Cara tersebut sering dilakukan oleh LSM aliran reformis memijam istilah mansou Fakih (alm).

Rekonstruksi  kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting mengingat program kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara khusus yakni Program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dimulai pada tahun 2000 lalu. Klaim mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri bahwa program tersebut hasilnya cukup menggembirakan baik secara kuantitatif dan kualitatif (Kompas 18/9/2004 hal 42) perlu dipertanyakan kevalidtannya.  Statement “ cukup menggembirakan “ masih mengambang apakah secara signifikan mengurangi kemiskinan atau hanya diukur pada saat masih berjalannya program tersebut. Kalau saja ada penurunan yang signifikan atas hasil program PEMP maka dari 247 kabupaten yang tersentuh program tersebut atau hampir setengah kabupten di Indonesia terutama yang berada di pesisir telah menerima “keampuhan” kompensasi atas kenaikan BBM untuk mengatasi kemiskinan. Faktanya,  kemiskinan masih belum beranjak malah sebaliknya semakin bertambah.

Kenaikan BBM merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada  jenis solar. Bisa dikatakan bahwa salah satu sektor yang banyak menggunakan solar untuk kegiatan produksi adalah nelayan. Strategi nelayan untuk bisa bertahan dalam melakukan penangkapan ikan dilakukan dengan cara mengoplos atau mencampur dengan minyak tanah (kerosin), bahkan ada yang seratus persen kerosin. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka  setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.

Pada umumnya para tokeh-tokeh (patron ) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik (tak ada ikan) atau  memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian,  ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut  justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di  seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).

 Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing. Bahkan kekuatan nelayan yang berada dalam lingkar organisasi bentukan negara (baca : HNSI), yang banyak dituding sebagai organisasi kumpulan pengusaha (bukan murni nelayan) tidak mampu berbuat banyak. Munculnya organisasi-organisasi di luar yang ada selama ini menjadi asset berharga untuk lebih banyak lagi  memperjuangkan kepentingan nelayan, terutama kategori tradisional yang mengalami marginalisasi.

Kompensasi BBM dengan subsidi langsung dengan ukuran  penghasilan Rp.175.000 per bulan apakah pas untuk nelayan ?   Nelayan sebagai entitas pesisir memiliki karakterikstik yang khas. Banyaknya perbedaan alat tangkap – sering menjadi identitas mereka, semisal nelayan jaring gembung, nelayan jaring udang ( disebut juga appolo), jaring ketam, pancing rawei dan lain-lainnya. Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong  belum tentu  bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya. Bagaimana mengukur pendapatan mereka kalau utang belum terhapus ? Adalah menjadi sulit jika nelayan yang sebagain besar hidup dalam kemiskinan diukur dengan standar Rp.175.000. Kalaupun subsidi langsung diberikan, maka besar kemungkinan  akan digunakan untuk membayar utang yang entah kapan bisa dihapus. Pengalaman juga menunjukkan bahwa batuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak melihat faktor struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap tetapi dana cadangan untuk pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia, maka akan kembali menggandalkan tokeh sebagai tempat meminjam. Sampan dan alat tangkap bisa-bisa “tergadai”, karena menutupi liang utang yang menganga.

Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus  diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain.  Kemudian  cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu  di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Dan program kompensasi BBM baiknya diarahkan tidak hanya mengatasi kemiskinan sementara waktu, tetapi bagaimana tidak tenggelam lagi dalam lautan kemiskinan.

Rencana menaikkan BBM hingga 50 persen, bakal membuat nelayan tidak melaut kalau mata rantai peragenan minyak tidak diputus. Sekalipun ada program SPDN (Solar Packed Dealer) Nelayan namun masih lebih banyak yang belum menikmatinya. Untuk itulah perlu ada intervensi secara khusus dari pemerintah bagi ketersedian BBM bagi nelayan. Bagi desa-desa pesisir yang sulit ditempuh transportasi sebaiknya lebih diutamakan membangun SPDN. Selanjutnya perlu diberdayakan organisasi-organisasi nelayan diluar yang ada selama ini dengan memberikan akses secara adil dan merata dalam mengelola SPDN. Sekalipun demikian bahwa pilihan nelayan sebenarnya lebih baik BBM tidak dinaikkan, toh masih banyak pekerjaan pemrintah yang harus dibenahi terlebih dahulu seperti penegakan hukum bagi penyeludupan, penimbun, dan mafia BBM yang telah lama berlangsung di negeri ini.

 


· Penulis adalah Aktifis P3MN

FISH for PEOPLE