BBM

Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan

Leonardo Marbun·

 

Pemerintah tetap bersikukuh menaikkan harga BBM sekalipun ada reaksi penolakan dari berbagai elemen. Alasan kenaikan ini diperkuat dengan harga minyak dipasar internasional sebesar 65 $ US menjadi, sekalipun kebiajakn tersebut menjadi rujukan penyusunan APBN yang katanya untuk menekan  devisit anggaran.

Padahal kenaikan pertama BBM pada pemerintahan SBY-Kalla sebesar 20 persen saja sudah disambut dengan berbagai aksi protes – pro kontra- hingga adu jotos anggota dewan terhormat. Namun, kenaikannya seolah tak terbendung, apalagi pemerintah berhasil mempengaruhi publik melalui jargon bahwa, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan kaya raya. Pernyataan tersebut didukung pula dengan asumsi bahwa kompensasi atas kenaikan BBM akan bisa mengurangi kemiskinan bila dikembalikan dalam bentuk bantuan pada warga miskin.

Kebijakan inipun terkesan buru-buru, melihat pendataan warga miskin belum benar-benar tuntas hingga saat ini. Dari percermatan penulis mengenai pendataan ditemukan beberapa kejanggalan seperti, pertama pelatihan secara instant (hanya 1 jam)  bagi para petugas pencatat sehingga diragukan apakah cukup memahami point-point pertanyaan yang di dalamnya beragam indikator . Kedua,  adanya indikasi penggelembungan data warga miskin, karena petugas pencatat dihargai untuk satu kuisioner antara Rp.3000-3500 . Pada akhirnya dorongan mendapatkan responden (warga dataan) lebih dominan . Selain itu informasi mengenai pendataan warga miskin sebelumnya sudah banyak diketahui, sehingga beberapa  warga  mengaku miskin. 

 

Kemiskinan Nelayan

            Streotipe semisal boros, malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justeru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring (membolo;istilah di Pantai Timur Sumatera Utara). Kalaupun ada sikap boros dan malas, tetapi tidak tepat dijadikan ukuran umum. Kemiskinan nelayan ditengarai pula oleh ketiadan modal dan rendahnya kultur kewirswastaan. Pemecahan persoalan tersebut biasanya dengan mengembangkan semangat kewiraswastaan, pendapatan perkapita kelompok sasaran meningkat, dan adanya motviasi berprestasi. Cara tersebut sering dilakukan oleh LSM aliran reformis memijam istilah mansou Fakih (alm).

Rekonstruksi  kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting mengingat program kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara khusus yakni Program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dimulai pada tahun 2000 lalu. Klaim mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri bahwa program tersebut hasilnya cukup menggembirakan baik secara kuantitatif dan kualitatif (Kompas 18/9/2004 hal 42) perlu dipertanyakan kevalidtannya.  Statement “ cukup menggembirakan “ masih mengambang apakah secara signifikan mengurangi kemiskinan atau hanya diukur pada saat masih berjalannya program tersebut. Kalau saja ada penurunan yang signifikan atas hasil program PEMP maka dari 247 kabupaten yang tersentuh program tersebut atau hampir setengah kabupten di Indonesia terutama yang berada di pesisir telah menerima “keampuhan” kompensasi atas kenaikan BBM untuk mengatasi kemiskinan. Faktanya,  kemiskinan masih belum beranjak malah sebaliknya semakin bertambah.

Kenaikan BBM merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada  jenis solar. Bisa dikatakan bahwa salah satu sektor yang banyak menggunakan solar untuk kegiatan produksi adalah nelayan. Strategi nelayan untuk bisa bertahan dalam melakukan penangkapan ikan dilakukan dengan cara mengoplos atau mencampur dengan minyak tanah (kerosin), bahkan ada yang seratus persen kerosin. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka  setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.

Pada umumnya para tokeh-tokeh (patron ) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik (tak ada ikan) atau  memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian,  ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut  justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di  seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).

 Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing. Bahkan kekuatan nelayan yang berada dalam lingkar organisasi bentukan negara (baca : HNSI), yang banyak dituding sebagai organisasi kumpulan pengusaha (bukan murni nelayan) tidak mampu berbuat banyak. Munculnya organisasi-organisasi di luar yang ada selama ini menjadi asset berharga untuk lebih banyak lagi  memperjuangkan kepentingan nelayan, terutama kategori tradisional yang mengalami marginalisasi.

Kompensasi BBM dengan subsidi langsung dengan ukuran  penghasilan Rp.175.000 per bulan apakah pas untuk nelayan ?   Nelayan sebagai entitas pesisir memiliki karakterikstik yang khas. Banyaknya perbedaan alat tangkap – sering menjadi identitas mereka, semisal nelayan jaring gembung, nelayan jaring udang ( disebut juga appolo), jaring ketam, pancing rawei dan lain-lainnya. Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong  belum tentu  bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya. Bagaimana mengukur pendapatan mereka kalau utang belum terhapus ? Adalah menjadi sulit jika nelayan yang sebagain besar hidup dalam kemiskinan diukur dengan standar Rp.175.000. Kalaupun subsidi langsung diberikan, maka besar kemungkinan  akan digunakan untuk membayar utang yang entah kapan bisa dihapus. Pengalaman juga menunjukkan bahwa batuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak melihat faktor struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap tetapi dana cadangan untuk pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia, maka akan kembali menggandalkan tokeh sebagai tempat meminjam. Sampan dan alat tangkap bisa-bisa “tergadai”, karena menutupi liang utang yang menganga.

Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus  diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain.  Kemudian  cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu  di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Dan program kompensasi BBM baiknya diarahkan tidak hanya mengatasi kemiskinan sementara waktu, tetapi bagaimana tidak tenggelam lagi dalam lautan kemiskinan.

Rencana menaikkan BBM hingga 50 persen, bakal membuat nelayan tidak melaut kalau mata rantai peragenan minyak tidak diputus. Sekalipun ada program SPDN (Solar Packed Dealer) Nelayan namun masih lebih banyak yang belum menikmatinya. Untuk itulah perlu ada intervensi secara khusus dari pemerintah bagi ketersedian BBM bagi nelayan. Bagi desa-desa pesisir yang sulit ditempuh transportasi sebaiknya lebih diutamakan membangun SPDN. Selanjutnya perlu diberdayakan organisasi-organisasi nelayan diluar yang ada selama ini dengan memberikan akses secara adil dan merata dalam mengelola SPDN. Sekalipun demikian bahwa pilihan nelayan sebenarnya lebih baik BBM tidak dinaikkan, toh masih banyak pekerjaan pemrintah yang harus dibenahi terlebih dahulu seperti penegakan hukum bagi penyeludupan, penimbun, dan mafia BBM yang telah lama berlangsung di negeri ini.

 


· Penulis adalah Aktifis P3MN

Tinggalkan komentar